TYM

TYM
BERKATNYA MELIMPAH

Rabu, 01 Januari 2020

Yang terutama dalam hidup Kristen,Luk 11:1-13

Hal yang utama dan yang pertama dalam kehidupan Kristen adalah memberikan Allah kesempatan untuk berbicara kepada kita. Hal yang utama dan yang kedua adalah Kristen harus berbicara kepada-Nya. Kita harus berdoa, karena tujuan terpenting dalam hidup kita tidak dapat dicapai tanpa doa. Apa saja yang terpenting dan yang paling perlu dalam hidup kita? Seperti sebuah perjalanan panjang, kita senantiasa berjalan ke depan. Apakah tujuan hidup kita? Apa yang seharusnya menjadi ambisi utama kita?
Dalam Doa Bapa Kami kita menemukan jawabannya, yaitu bahwa kepentingan Allah harus diutamakan (ayat 2). Kita berdoa agar nama- Nya dikuduskan, yaitu dikhususkan sebagai yang paling suci, paling bernilai, dan paling mulia. Nilai kehidupan manusia tidak akan dihargai secara pantas kecuali jika manusia memandang Nama- Nya sebagai yang paling berharga dan merupakan sumber dari seluruh nilai yang benar. Kepentingan pribadi merupakan hal utama yang kedua yang dipintakan dalam doa yaitu dengan urutan kebutuhan fisik, moralitas dan rohani (ayat 3-4). Yesus tidak menyangkal bahwa kebutuhan fisik merupakan kebutuhan dasar manusia. Setelah kebutuhan fisik, kita perlu pengampunan untuk masa lalu kita dan terlepas dari pencobaan di masa yang akan datang. Kita perlu pengampunan dan bimbingan-Nya setiap hari seperti kita perlu berkat jasmani-Nya tiap hari juga.
Inilah prioritas yang benar dalam doa kita. Namun Yesus tidak berhenti sampai di sini, Ia menambahkan permintaan lain dalam doa yang akan menyatakan secara lebih nyata lagi apa prioritas utama kita dan perhitungan kita tentang apa yang paling penting dalam hidup ini, yaitu Roh Kudus. Yesus memahami bahwa murid- murid-Nya selama hidup di dunia ini akan mengalami segala macam pencobaan, masalah, dan marabahaya, yang selain membahayakan hidupnya juga dapat menggoyahkan imannya. Itulah sebabnya Ia mengajarkan bahwa Allah Bapa sudah siap memberikan yang terbaik bagi anak-anak-Nya yaitu Roh Kudus jika mereka memintanya dengan sungguh. Meminta karunia Roh Kudus bukanlah suatu peristiwa yang terjadi sekali dalam hidup.
Renungkan: Dalam kehidupan di negara kita sekarang ini yang segala sesuatunya sangat tidak pasti, di mana Kekristenan terus- menerus di bawah ancaman, hal apakah yang senantiasa Anda minta kepada Allah?
DOA: Bapa surgawi, berikanlah kepada kami hati yang merindukan berkat-berkat-Mu atas segala sesuatu. Curahkanlah Roh-Mu ke atas bangsa-bangsa, ya Tuhan, sehingga semua orang dapat mengenal Engkau dan hidup untuk-Mu. Amin.

Jati diri Yesus Kristus, Kol 1:15-20

Demi kepentingan keselamatan manusia, Allah menyatakan diri-Nya dan mengungkapkan rencana keselamatan itu. Satu-satunya cara untuk menyatakan diri-Nya adalah dalam wujud manusia yang tidak berdosa, yang dapat berhubungan serta berbicara dengan manusia yang berdosa. Dengan demikian kita dapat melihat kemuliaan Allah pada wajah Kristus (ayat 15). Kristus adalah Pencipta dan segala sesuatu adalah ciptaan-Nya termasuk yang tidak dapat dilihat oleh mata, yaitu makhluk-makhluk sorgawi seperti para malaikat, yang melayani Tuhan maupun yang memberontak menjadi iblis dan roh-roh jahat (Ef.6:12). Yesus Kristus sudah ada sebelum segala ciptaan ada. Ia berasal dari kekekalan hingga kekekalan; tidak mempunyai permulaan dan tidak pula mempunyai akhir. Ia adalah Allah (bdk. Yoh 1:1,2).
Hubungan Kristus dengan jemaat diibaratkan dengan kepala dan tubuh. ristus adalah kepala dan jemaat adalah tubuh. Kepala adalah sumber kehidupan dan mengikat anggota tubuh menjadi satu kesatuan. Kristus hidup untuk selama-lamanya, demikian pun yang akan dialami semua tebusan-Nya. Oleh karena Yesus Kristus disebut sebagai yang sulung dalam kebangkitan-Nya, maka semua tebusan-Nya kelak akan menyusul. Kristus menjadi yang terpenting dan utama dari segala sesuatu, sebab tanpa Dia kita tidak mempunyai harapan (ayat 18).
Kristus dan Bapa adalah satu (bdk. Yoh 10:30). Apa yang hanya dilakukan oleh Allah dilakukan oleh Yesus Kristus. Segala sesuatu yang terdapat pada diri Allah terdapat juga pada diri Kristus (ayat 19). Dengan perantaraan Kristus, Allah memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya. Manusia berdosa tidak sanggup dan tidak dapat mendamaikan dirinya sendiri dengan Allah.
Kristus telah mencurahkan darah-Nya di kayu salib. Ia melaksanakan penebusan yang memungkinkan kita dapat diperdamaikan dengan Allah (ayat 20).

Hidup Kekal dan Kepedulian, Luk 10:25-37

Ahli Taurat itu mengajukan pertanyaan yang luar biasa penting kepada Yesus tentang bagaimana orang dapat mewarisi hidup kekal. Sayang ia bertanya dengan motivasi salah dan praanggapan keliru. Ia bertanya bukan karena ia sungguh sedang menggumuli pertanyaan itu tetapi karena ia ingin mencobai Yesus (ayat 25). Ia tidak sedang mencari jawaban sebab ia sudah punya pranggapan bahwa orang dapat mewarisi hidup kekal melalui perbuatan membenarkan diri (ayat 25-29).
Terasakah oleh Anda betapa mengejutkan jawaban Yesus? Dengan mengacu kepada sari Taurat (Ul 6:5), Yesus ingin menyadarkan dia bahwa hidup kekal bukan masalah warisan tetapi masalah hubungan. Faktor intinya bukan perbuatan tetapi kondisi hati. Kasih Allah yang telah mengaruniakan hidup dengan menciptakan manusia dan memberikan hukum-hukum-Nya, patut disambut dengan hati penuh syukur dan kasih di pihak manusia.
Mungkinkah orang mengalami kasih Allah dan hidup dalam kasih yang riil kepada-Nya namun hatinya tertutup terhadap rintih tangis sesamanya? Tidak, sebab kasih kepada Allah pasti akan mengalir dalam kasih kepada sesama. Namun, siapakah sesama yang harus kita kasihi itu? Itu menjadi pertanyaan berikut si ahli Taurat kepada Yesus. Lalu, lahirlah jawab menakjubkan dari Yesus tentang perumpamaan orang Samaria yang baik. Pertama, orang-orang yang dalam praanggapan si ahli Taurat pasti akan berbuat benar, ternyata tidak. Kedua, orang yang dalam praanggapan si ahli Taurat pasti salah, ternyata berbuat benar sebab memiliki kasih. Ketiga, ahli Taurat itu seharusnya tidak bertanya siapakah sesamanya tetapi bertanya apakah ia sedang menjadi sesama bagi orang lain.
Renungkan: Untuk dilakukan: Orang yang mempraktikkan kasih seluas kasih Allah menunjukkan bahwa ia memiliki hubungan dengan Allah dan hidup kekal. Sikap dan tindakan apa yang harus kutumbuhkan agar aku menjadi sesama bagi orang-orang di sekitarku?
DOA: Tuhan Yesus, semoga kasih-Mu menjadi fondasi kehidupanku. Tunjukkanlah kepadaku di mana aku tidak memiliki bela-rasa terhadap sesamaku. Tolonglah aku untuk senantiasa bermurah-hati dalam memberi kepada orang-orang lain apa saja yang Kau telah berikan kepadaku dengan penuh kemurahan hati. Amin.

Yang baru meniadakan yang lama, Matius 9:14-17

Pada malam hari orang menyalakan lampu atau lilin supaya tidak kegelapan. Bila matahari sudah terbit semua alat penerang itu tidak lagi diperlukan. Demikian juga dengan semua upacara agama yang biasa dipraktikkan orang-orang Farisi, para ahli Taurat, termasuk murid-murid Yohanes pembaptis. Pada dasarnya peraturan-peraturan itu, misalnya berpuasa (ayat 14), dibuat untuk menolong orang mengharapkan kedatangan Mesias. Akan tetapi, Yesus Sang Mesias sudah hadir di tengah-tengah mereka. Mereka seharusnya berhenti menanti, dan mulai menikmati sukacita kehadiran-Nya (ayat 15).
Tuhan Yesus ingin menyatakan bahwa Ia datang bukan untuk sekadar menambalkan atau menambahkan sesuatu yang baru kepada ajaran agama yang lama. Kata “lama” (Yun.: palaios) berarti aus atau usang karena pemakaian. Ajaran Yahudi telah menjadi begitu tidak fleksibel karena akumulasi dari tradisi-tradisi nonalkitabiah selama berabad-abad. Ajaran Yahudi tersebut sudah berubah menjadi upacara semata-mata yang malah menjauhkan mereka dari Allah. Tuhan Yesus bukan sedang menambahkan ajaran baru ke dalam wadah yang lama itu. Ia sedang menyatakan bahwa masa yang baru (neos) dan kerajaan yang baru (kainos) sudah tiba dengan kehadiran-Nya. Dengan demikian, mereka yang ingin berbagian dalam kerajaan yang baru itu harus meninggalkan semua pemahaman agama dan sikap hidup yang lama lalu menerima Kristus dan hidup dalam kebenaran-Nya.
Apakah pesan Yesus ini dapat diartikan sebagai menolak tradisi rohani orang Kristen masa kini? Ya dan tidak. Kita tetap perlu bergereja, berdoa, membaca Firman, dsb. Namun, semua kebiasaan rohani tersebut menjadi sia-sia kalau kita tidak intim dengan Tuhan Yesus.
Renungkan: Jika Tuhan Yesus hadir dalam hidup dan ibadah kita, pasti suasananya adalah kesukaan dan bukan kedukaan.
DOA: Tuhan Yesus, oleh kuasa Roh Kudus-Mu, buatlah baptisan kami menjadi hidup. Jadikanlah segala sesuatu baru selagi kami hidup di bawah hukum cintakasih. Amin

Kematian Kristus dan kebutuhan manusia.,Luk 23:35-43

Kematian Yesus bukanlah kematian yang sia-sia, yang dicari-cari atau pun konyol. Sebaliknya kematian-Nya memberikan makna dan tujuan baru bagi kehidupan manusia. Kematian-Nya pun mengungkapkan betapa berharganya jiwa manusia di mata-Nya.
Ketika tergantung di kayu salib, para pemimpin Yahudi dan prajurit mengolok-olok ketidakmampuan-Nya menyelamatkan diri-Nya sendiri (ayat 35-37). Tindakan mereka itu hanya terpusat kepada keselamatan fisik. Yesus memang telah membuktikan bahwa Ia mampu membebaskan rakyat Yahudi dari berbagai masalah sosial seperti penyakit dan pangan. Namun mengapa sekarang Ia tidak berdaya dan tergantung di kayu salib? Jika demikian Ia bukanlah Mesias yang dinanti-nantikan.
Yesus menegaskan bahwa tujuan-Nya datang ke dunia dan mati di kayu salib bukan untuk keselamatan manusia secara fisik. Kematian-Nya merupakan penggenapan Paskah yang selalu diperingati dan dirayakan bangsa Israel. Paskah pertama memang merupakan pembebasan bangsa Israel dari kekuatan Firaun. Namun sebetulnya peristiwa Paskah itu terdiri dari 2 tahapan. Sebelum mereka keluar dari negeri perhambaan, mereka telah dibebaskan atau diselamatkan terlebih dahulu dari murka Allah dengan darah anak domba. Kematian Kristus telah membebaskan umat manusia yang berdosa dari murka Allah (ayat 43). Kematian Kristus juga mendamaikan manusia dengan Allah yang ditandai dengan terbelahnya tabir Bait Allah (ayat 45). Semua itu tidak akan tercapai jika Kristus tidak datang ke dalam dunia dan mati.

Renungkan: Kematian Yesus adalah karya-Nya yang terbaik buat manusia yang terburuk, agar mereka menerima anugerah yang terbesar yaitu keselamatan kekal. Kristen harus melakukan karya terbaik dan termulia bagi Allah, sebagai ungkapan terima kasih yang terbesar.
DOA: Tuhan Yesus, Engkau datang ke dunia dalam kelemah-lembutan dan kerendahan hati serta kedinaan sebagai seorang pelayan. Walaupun Engkau seorang Raja yang agung – “Raja segala raja” – Engkau mengenal kami masing-masing secara sempurna dan Engkau mengasihi kami masing-masing secara penuh dan lengkap. Kami meninggikan Engkau dan menyembah Engkau senantiasa, ya Tuhan dan Juruselamat kami. Amin.

Berdoa dan Berjaga, Luk 21:29-33

Sudah jelas dikatakan bahwa kedatangan Yesus kedua kali tidak diketahui oleh siapapun. Namun, manusia selalu berspekulasi tentang waktu kedatangan-Nya. Sebenarnya apa yang harus dilakukan oleh para murid untuk berjaga-jaga?
Pertama, berjaga-jaga diisi bukan dengan pesta pora dan kemabukan (ayat 34), melainkan dengan tetap sadar dan hidup yang benar dan mulia. Berjaga-jaga bukanlah suatu aktivitas yang diisi dengan usaha-usaha spekulasi yang menghitung-hitung kapan tepatnya kedatangan Yesus yang kedua kali. Berjaga-jaga berarti percaya dan taat penuh kepada firman-Nya (ayat 32-33).
Kedua, berjaga-jaga haruslah diisi dengan berdoa (ayat 36). Dalam hal ini berdoa memiliki multi arti, yaitu berdoa berarti menyadari diri tidak sanggup berjaga-jaga dengan kekuatan sendiri, melainkan dengan bersandar pada kekuatan dari Allah. Berdoa, berarti mempercayakan hidup di saat-saat penantian ini dengan tetap percaya bahwa Allah akan menjaga dan mencukupkan kebutuhan hidup mereka. Berdoa menyebabkan mereka tidak tergoda untuk menyangkali imannya ketika harus menghadapi persoalan di masa penantian ini. Berdoa, berarti berjaga-jaga dengan penuh kewaspadaan, mendapatkan kekuatan Allah untuk bertahan bahkan luput dari semua yang harus terjadi di saat-saat penantian itu.

Berjaga-jaga dan berdoa berjalan bersama-sama. Murid-murid Tuhan dapat bertahan sampai Tuhan datang bila hidup mereka berjaga-jaga dan berdoa. Demikian juga dengan kita, murid-murid Tuhan masa kini. Kita harus menata hidup kita dan doa kita sehingga saat sebelum Tuhan datang, di mana penderitaan akan semakin menjadi-jadi, kita tetap setia. Ketika Tuhan datang, kita boleh berdiri menyambut-Nya (ayat 36).
Untuk dilakukan: Berjaga dan berdoa berarti hidup benar, sesuai kehendak-Nya, dan bersandar penuh kepada pertolongan-Nya.
DOA: Bapa surgawi, utuslah Roh Kudus-Mu untuk memperbaharui Gereja-Mu. Semoga kami semua bertumbuh dalam iman, dalam kesetiaan dan dalam kesalehan selagi kami menjalani masa Adven tahun ini. Perbaharuilah kami semua dengan kuat-kuasa-Mu yang mahabesar. Amin.

PERLUNYA, Mendoakan ARWAH

Mengapa kita mendoakan orang yang sudah meninggal bahkan dalam Gereja Katolik ada perayaan Khusus untuk orang meninggal tanggal 2 Nopember. Bukankah orang yang sudah meninggal merupakan urusan Tuhan dan bukan urusan manusia? Inilah pertanyaan yang dilontarkan oleh saudara-i kita non Katolik. Banyak di antara kita yang bisa menjawab namun tidak sedikit yang emosi menjawab untuk menutupi bahwa kita tidak tahu. Beberapa jawaban untuk ini.

Pertama, bahwa kita Katolik percaya bahwa adanya api penyucian. Api Penyucian atau ‘purgatorium’ adalah ‘tempat’/ proses kita disucikan. ‘Disucikan’ bukan ‘dicuci’, oleh sebab itu disebut Api Penyucian (bukan Api Pencucian). Gereja Katolik mengajarkan hal ini di dalam Katekismus Gereja Katolik # 1030-1032, yang dapat disarikan sebagai berikut:
  1. Api Penyucian adalah suatu kondisi yang dialami oleh orang-orang yang meninggal dalam keadaan rahmat dan dalam persahabatan dengan Tuhan, namun belum suci sepenuhnya, sehingga memerlukan proses pemurnian selanjutnya setelah kematian.
  2. Pemurnian di dalam Api Penyucian adalah sangat berlainan dengan siksa neraka.
  3. Kita dapat membantu jiwa-jiwa yang ada di Api Penyucian dengan doa-doa kita, terutama dengan mempersembahkan ujud Misa Kudus bagi mereka.
Dasar dari Kitab Suci
Keberadaaan Api Penyucian bersumber dari ajaran Kitab Suci, yaitu dalam beberapa ayat berikut ini:


  • “Tidak akan masuk ke dalamnya [surga] sesuatu yang najis” (Why 21:27) sebab Allah adalah kudus, dan kita semua dipanggil kepada kekudusan yang sama (Mat 5:48; 1 Pet 1:15-16). Sebab tanpa kekudusan tak seorangpun dapat melihat Allah (Ibr 12:14). Melihat bahwa memang tidak mungkin orang yang ‘setengah kudus’ langsung masuk surga, maka sungguh patut kita syukuri, bahwa Allah memberikan kesempatan pemurnian di dalam Api Penyucian.
  • Keberadaan Api Penyucian diungkapkan oleh Yesus secara tidak langsung pada saat Ia mengajarkan tentang dosa yang menentang Roh Kudus, “…tetapi jika ia menentang Roh Kudus, ia tidak akan diampuni, di dunia ini tidak, dan di dunia yang akan datang pun tidak.” (Mat 12:32) Di sini Yesus mengajarkan bahwa ada dosa yang dapat diampuni pada kehidupan yang akan datang. Padahal kita tahu bahwa di neraka, dosa tidak dapat diampuni, sedangkan di surga tidak ada dosa yang perlu diampuni. Maka pengampunan dosa yang ada setelah kematian terjadi di Api Penyucian, walaupun Yesus tidak menyebutkan secara eksplisit istilah ‘Api Penyucian’ ini.
  • Rasul Paulus mengajarkan bahwa pada akhirnya segala pekerjaan kita akan diuji oleh Tuhan. “Jika pekerjaannya terbakar, ia akan menderita kerugian, tetapi ia sendiri akan diselamatkan, tetapi seperti dari dalam api.” (1 Kor 3:15) Api ini tidak mungkin merupakan api neraka, sebab dari api neraka tidak ada yang dapat diselamatkan. Api ini juga bukan surga, sebab di surga tidak ada yang ‘menderita kerugian’. Sehingga ‘api’ di sini menunjukkan adanya kondisi tengah-tengah, di mana jiwa-jiwa mengalami kerugian sementara untuk mencapai surga.
  • Rasul Petrus juga mengajarkan bahwa pada akhir hidup kita, iman kita akan diuji, “…untuk membuktikan kemurnian imanmu yang jauh lebih tinggi nilainya daripada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api- sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan… pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya (1 Pet 1:7).
Alasan kedua, Dasar Kitab Suci

  • Gereja Katolik untuk mendoakan jiwa-jiwa orang yang sudah meninggal adalah adanya Persekutuan Orang Kudus yang tidak terputuskan oleh maut. Rasul Paulus menegaskan “Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.” (Rm 8:38-39).
  • Kita sebagai sesama anggota Tubuh Kristus selayaknya saling tolong menolong dalam menanggung beban (Gal 6:2) di mana yang kuat menolong yang lemah (Rm 15:1), maka jika kita mengetahui (kemungkinan) adanya anggota keluarga kita yang masih dimurnikan di Api Penyucian, maka kita yang masih hidup dapat mendoakan mereka, secara khusus dengan mengajukan intensi Misa kudus. Kita berdoa bagi orang yang sudah meninggal agar mereka dibebaskan dari dosa-dosa mereka (2 Mak 12:42-46). Dalam Sirakh 7 : 33 juga dituliskan bahwa “Hendaklah kemurahan hatimu meliputi semua orang yang hidup, tapi orang matipun jangan kau kecualikan pula dari kerelaanmu”. Ayat ini mempunyai pengertian bahwa bantuan melalui doa – doa dan persembahan kepada orang yang sudah mendahului kita tidak akan sia-sia, karena itulah bentuk perhatian dan bantuan kita secara rohani kepada mereka. Catatan. Kitab Makabe dan Sirakh termasuk dalam kelompok Kitab Deteurokanonika yang tidak diakui oleh Gereja Kristen Protestan. Di sinilah letak perbedaannya.
Alasan ketiga ialah, kita (baik Katolik maupun Protestan) percaya adanya kebangkitan. Rasul Paulus menuliskan kepada jemaat di Korintus, “Kalau tidak ada kebangkitan orang mati, maka Kristus juga tidak dibangkitkan” (1Kor 15:13). Dengan kata lain, orang yang tidak percaya akan kebangkitan badan, tidak percaya akan Kristus sendiri yang telah bangkit. Karena jikalau kita percaya, bahwa Yesus telah mati dan telah bangkit, maka kita percaya juga bahwa mereka yang telah meninggal dalam Yesus akan dikumpulkan Allah bersama-sama dengan Dia.” (1Tes 4:13-14).

Sumber; katolisitas.org dan Iman Katolik

Semoga paparan sederhana ini semakin menambah pengetahuan dan terutama iman akan Tuhan yang Maha Rahim raja kehidupan. Dan tentu bukan juga supaya kita bisa menjawab pertanyaan mengapa kita mendoakan orang yang sudah meninggal namun supaya kita yakin bahwa kita masih mampu “membuat” sesuatu (doa, intensi dan persembahan Ekaristi) bagi mereka (keluarga) kita yang sudah meninggal.

Terakhir, cobaan Maria terberat

Cobaan terakhir Maria, sebagaimana ditulis dalam Alkitab, adalah yang paling meremukkan hati. Ia menyaksikan putra yang dikasihinya mati dalam penderitaan yang hebat setelah ia ditolak oleh bangsanya. Kematian anak digambarkan sebagai ”kehilangan terbesar”, ”kematian yang paling menghancurkan hati”, tidak soal anak itu masih muda atau sudah dewasa. Sebagaimana dinubuatkan puluhan tahun sebelumnya, Maria merasa seolah-olah sebilah pedang menembus jiwanya!​—Lukas 2:34, 35.
Apakah Maria membiarkan ujian terakhir ini menghancurkan dia secara emosi dan melemahkan imannya kepada Yehuwa? Tidak. Kali berikutnya Maria disebutkan dalam catatan Alkitab, ia bersama murid-murid Yesus ”berkanjang dalam doa”. Dan, ia tidak sendirian. Putra-putranya yang lain, yang pada saat itu sudah mulai beriman akan kakak sulung mereka, ada bersamanya. Pastilah hal ini menghibur Maria!*​—Kisah 1:14.
Maria memiliki kehidupan yang penuh makna dan memuaskan sebagai wanita, istri, dan ibu yang setia. Ia memiliki banyak pengalaman yang kaya secara rohani. Ia mengatasi banyak ujian dan cobaan. Sewaktu menghadapi tantangan yang tak terduga atau merasa cemas karena problem keluarga, kita tentu dapat belajar dari teladan ketekunan dan kesetiaannya melayani Allah.​—Ibrani 10:36.

Maria dalam masa-masa sulit

Dewasa ini, banyak calon ibu membuat persiapan selama berbulan-bulan untuk menyongsong bayi mereka, dan Maria mungkin melakukan hal yang sama. Bayi ini akan menjadi anaknya yang pertama. Akan tetapi, peristiwa yang tak diduga memperumit rencananya. Kaisar Agustus mengeluarkan dekret untuk melakukan sensus, yang mewajibkan seluruh rakyat mendaftar di kota kelahiran mereka. Jadi, Yusuf membawa Maria, yang sedang hamil sembilan bulan, untuk melakukan perjalanan sejauh kira-kira 150 kilometer, kemungkinan besar dengan menunggang keledai! Saat itu, Betlehem sangat padat dan Maria membutuhkan tempat untuk bersalin, namun satu-satunya tempat yang tersedia hanyalah sebuah kandang. Bersalin di sebuah kandang tentunya sangat sulit bagi Maria. Ia kemungkinan besar merasa malu dan juga takut.
Pada saat-saat kritis dalam kehidupannya ini, Maria pasti mencurahkan hatinya kepada Yehuwa, percaya bahwa Allah akan memelihara dia dan bayinya. Belakangan beberapa gembala tiba, sangat antusias melihat bayi tersebut. Mereka melaporkan bahwa para malaikat menyebut anak ini ”seorang Juru Selamat, yang adalah Kristus Tuan”. Kemudian kita membaca, ”Maria mulai menyimpan semua perkataan ini, menarik kesimpulan dalam hatinya.” Ia merenungkan kata-kata ini dan mendapatkan kekuatan.​—Lukas 2:11, 16-19.
Bagaimana dengan kita? Kita juga mungkin mengalami kepedihan dalam kehidupan kita. Lagi pula, Alkitab menunjukkan bahwa ”waktu dan kejadian yang tidak terduga” dapat menimpa siapa pun di antara kita, menimbulkan berbagai kesulitan serta tantangan dalam perjalanan hidup kita. (Pengkhotbah 9:11) Jika hal itu terjadi, apakah kita menjadi getir dan menyalahkan Allah? Tidakkah lebih baik untuk meniru sikap Maria dan mendekat kepada Allah Yehuwa dengan belajar dari Firman-Nya, Alkitab, dan kemudian merenungkan apa yang telah kita pelajari? Dengan demikian, kita akan dibantu untuk menanggung berbagai cobaan.

Maria memilki tugas yang unik

Maria, putri Heli, berasal dari suku Yehuda di Israel. Ia pertama kali disebutkan dalam Alkitab sehubungan dengan suatu peristiwa yang luar biasa. Seorang malaikat mengunjungi dia dan mengatakan, ”Salam, hai, engkau yang sangat diperkenan, Yehuwa menyertai engkau.” Awalnya, Maria merasa gundah dan ”mulai memikirkan apa maksud salam itu”. Maka, malaikat itu memberi tahu bahwa dia telah dipilih untuk tugas yang luar biasa namun juga sangat serius, yakni mengandung, melahirkan, dan membesarkan Putra Allah.​—Lukas 1:26-33.
Betapa pentingnya tugas yang dipercayakan kepada wanita muda yang belum menikah ini! Bagaimana tanggapannya? Maria bisa jadi bertanya-tanya apakah ada yang akan percaya pada ceritanya. Tidakkah kehamilan seperti itu akan menyebabkan dia kehilangan cinta kasih Yusuf, tunangannya, atau mencoreng mukanya di mata masyarakat? (Ulangan 22:20-24) Ia tidak ragu-ragu menerima tugas yang berat ini.
Iman Maria yang kuat membuatnya sanggup untuk tunduk kepada kehendak Allahnya, Yehuwa. Dia yakin bahwa Allah akan memeliharanya. Maka, dia pun berseru, ”Lihat! Budak perempuan Yehuwa! Semoga itu terjadi atasku sesuai dengan pernyataanmu.” Maria rela menghadapi tantangan karena ia menghargai hak istimewa rohani yang ditawarkan kepadanya.​—Lukas 1:38.
Sewaktu Maria memberi tahu Yusuf bahwa ia hamil, Yusuf berniat memutuskan pertunangan mereka. Pada waktu itu, keduanya pastilah merasa sangat tertekan. Alkitab tidak mengatakan berapa lama keadaan yang sulit itu berlangsung. Namun, baik Maria maupun Yusuf tentu merasa teramat lega sewaktu malaikat Yehuwa muncul kepada Yusuf. Utusan Allah itu menjelaskan kehamilan Maria yang tidak lazim, dan menyuruh Yusuf membawa Maria pulang ke rumahnya sebagai istrinya.​—Matius 1:19-24.

Maria, kuat menghadapi cobaan-cobaan yang tak terduga

Maria menghadapi cobaan lain yang tidak pernah ia duga. Seraya Yesus mengabar, banyak orang mengikuti dia​—tetapi saudara-saudaranya sendiri tidak. ”Sebenarnya, saudara-saudara lelakinya tidak memperlihatkan iman akan dia,” kata Alkitab. (Yohanes 7:5) Kemungkinan besar, Maria memberi tahu mereka apa yang dikatakan malaikat kepadanya​—bahwa Yesus adalah ”Putra Allah”. (Lukas 1:35) Namun, bagi Yakobus, Yusuf, Simon, dan Yudas, Yesus hanyalah kakak mereka yang tertua. Jadi, Maria tinggal dalam keluarga yang anggota–anggotanya memiliki pandangan agama yang berbeda.
Apakah Maria menjadi kecil hati dan menyerah menghadapi situasi ini. Sama sekali tidak! Sekali peristiwa sewaktu Yesus sedang mengabar di Galilea, ia pergi ke sebuah rumah untuk makan, dan ada sekumpulan orang yang ingin mendengarkan dia. Siapa yang berada di luar untuk mencari dia? Maria dan saudara-saudara lelaki Yesus. Jadi, sewaktu Yesus berada di dekat keluarganya, Maria mengikutinya dan tampaknya ia membawa serta anak-anaknya yang lain, mungkin dengan harapan bahwa mereka akan berubah sikap terhadap Yesus.​—Matius 12:46, 47.
Anda juga mungkin mengalami kesulitan karena berupaya keras mengikuti Yesus sedangkan yang lainnya dalam keluarga Anda tidak mau berbuat demikian. Jangan kecil hati, dan jangan menyerah! Banyak orang, seperti Maria, telah dengan sabar memberikan anjuran kepada anggota keluarganya selama bertahun-tahun sebelum melihat perubahan yang nyata. Ketekunan seperti itu berharga di mata Allah, tidak soal orang lain memberikan tanggapan atau tidak.​—1 Petrus 3:1, 2.

Maria, bertekun dalam menghadapi kesengsaraan dan kehilangan

Apa yang terjadi dengan Yusuf, ayah angkat Yesus? Setelah muncul sebentar dalam uraian peristiwa semasa Yesus masih muda, Yusuf tidak pernah muncul lagi dalam catatan Injil. Beberapa orang menganggap hal ini sebagai petunjuk bahwa Yusuf meninggal beberapa waktu sebelum pelayanan Yesus mulai.* Apa pun yang terjadi, Maria kelihatannya telah menjadi janda pada akhir pelayanan Yesus. Pada saat kematiannya, Yesus mempercayakan ibunya kepada rasul Yohanes. (Yohanes 19:26, 27) Yesus tidak akan melakukan hal ini jika Yusuf masih hidup.
Maria dan Yusuf telah mengalami banyak hal bersama! Beberapa kali mereka dikunjungi malaikat, meluputkan diri dari seorang raja yang lalim, beberapa kali pindah, dan mengurus sebuah keluarga besar. Seberapa seringkah mereka duduk bersama dan berbicara tentang Yesus, bertanya-tanya apa yang harus dihadapinya di masa mendatang, khawatir apakah selama ini mereka telah melatih dan mempersiapkan dia dengan cara yang benar? Dan tiba-tiba, Maria sendirian, tanpa pendamping.
Pernahkah Anda ditinggal mati oleh teman hidup? Apakah Anda masih merasa pedih dan hampa akibat kehilangan seperti itu, bahkan bertahun-tahun setelahnya? Tidak diragukan, Maria memperoleh penghiburan dari imannya dan pengetahuan tentang adanya kebangkitan.* (Yohanes 5:28, 29) Namun, penghiburan tersebut tidak mengakhiri masalah Maria. Seperti banyak ibu tunggal dewasa ini, ia mengalami banyak kesulitan dalam mengurus anak-anaknya tanpa bantuan seorang suami.
Masuk akal untuk percaya bahwa Yesus mencari nafkah bagi keluarganya setelah Yusuf meninggal. Seraya saudara-saudara lelaki Yesus beranjak dewasa, mereka akan dapat turut memikul berbagai tanggung jawab keluarga. Pada waktu Yesus ”berumur kira-kira tiga puluh tahun”, ia meninggalkan rumah dan memulai pelayanannya. (Lukas 3:23) Kebanyakan orang tua merasa sedih sekaligus bangga sewaktu putra atau putri mereka yang sudah dewasa meninggalkan rumah. Banyak sekali waktu, upaya, dan emosi yang terlibat sewaktu mengasuh dan membesarkan anak sehingga orang tua merasakan kehampaan yang dalam ketika anak-anak meninggalkan rumah. Apakah putra-putri Anda sudah meninggalkan rumah untuk mengejar tujuan hidup mereka? Apakah Anda merasa bangga namun kadang-kadang juga menginginkan mereka berada dekat? Nah, Anda dapat membayangkan bagaimana perasaan Maria sewaktu Yesus meninggalkan rumah.

Maria, Isteri dan Ibu yang berbakti

Selain catatan tentang kelahiran dan masa kecil Yesus, Maria tidak banyak disebutkan dalam Injil. Namun, kita tahu bahwa Maria dan Yusuf setidak-tidaknya memiliki enam anak lain. Ini mungkin mengejutkan bagi Anda. Akan tetapi, perhatikanlah apa yang dikatakan Injil.
Yusuf memiliki respek yang dalam terhadap hak istimewa Maria sebagai wanita yang melahirkan Putra Allah. Maka, ia tidak melakukan hubungan seksual dengannya sebelum Yesus lahir. Matius 1:25 menyatakan bahwa Yusuf ”tidak melakukan hubungan dengannya sampai dia melahirkan seorang anak laki-laki”. Kata ”sampai” di ayat ini menunjukkan bahwa Yusuf dan Maria melakukan hubungan seksual sebagaimana layaknya suami dan istri. Maka, catatan Injil mengatakan bahwa Maria dengan Yusuf memiliki anak-anak, putra dan putri. Yakobus, Yusuf, Simon, dan Yudas adalah saudara-saudara tiri Yesus. Maria sekurang-kurangnya memiliki dua orang putri. (Matius 13:55, 56) Namun, anak-anak ini dikandung dengan cara yang lazim.*
Maria adalah orang yang berpikiran rohani. Sekalipun Hukum tidak mewajibkan kaum wanita menghadiri perayaan Paskah, Maria biasa menemani Yusuf dalam perjalanan tahunan ke Yerusalem untuk perayaan itu. (Lukas 2:41) Ini berarti bahwa setiap tahun mereka melakukan perjalanan pulang-pergi hampir sejauh 300 kilometer​—membawa keluarga yang semakin besar! Tetapi, perjalanan ini tentunya sangat menyukacitakan seluruh keluarga.
Banyak wanita dewasa ini meniru teladan Maria. Mereka bekerja keras dan tanpa mementingkan diri memenuhi kewajiban ibadat mereka. Betapa sering istri-istri yang penuh pengabdian ini tak putus-putusnya menunjukkan kesabaran, ketekunan, dan kerendahan hati! Sewaktu merenungkan sikap Maria, mereka dibantu untuk terus mendahulukan hal-hal rohani di atas kenyamanan dan kesenangan pribadi mereka. Mereka tahu, seperti halnya Maria, bahwa ibadat kepada Allah bersama suami dan anak-anak mereka akan menguatkan dan mempersatukan keluarga.
Suatu waktu ketika Maria dan Yusuf sedang berjalan pulang dari perayaan di Yerusalem​—mungkin dengan beberapa anak​—mereka menyadari bahwa Yesus yang berusia 12 tahun tidak ada bersama mereka. Dapatkah Anda membayangkan betapa gundahnya Maria ketika ia kalang kabut mencari putranya selama tiga hari? Sewaktu akhirnya ia dan Yusuf menemukannya di bait, Yesus mengatakan, ”Tidakkah kamu tahu bahwa aku harus berada di rumah Bapakku?” Sekali lagi, catatan Injil mengatakan bahwa Maria ”menyimpan dengan cermat semua perkataan ini dalam hatinya”. Ini merupakan bukti lain tentang penghargaan Maria yang dalam akan hal-hal rohani. Ia dengan cermat merenungkan semua hal yang terjadi sehubungan dengan Yesus. Bertahun-tahun kemudian, ia mungkin menceritakan kepada para penulis Injil tentang hal-hal yang diingatnya dengan jelas mengenai peristiwa ini dan berbagai peristiwa lainnya sehubungan dengan kehidupan awal Yesus.​—Lukas 2:41-52.

Maria, pernah hidup miskin dan menjadi pengungsi

Maria juga mengalami berbagai kesulitan lain​—termasuk hidup miskin dan terpaksa melarikan diri dari negeri asalnya. Pernahkah Anda mengalami keadaan sulit demikian? Menurut sebuah laporan, ”setengah penduduk dunia​—hampir tiga miliar orang​—hidup dengan kurang dari dua dolar AS per hari”, dan jutaan orang lainnya berjuang mencari sesuap nasi sekalipun mereka tinggal di negara-negara yang katanya makmur. Bagaimana dengan Anda? Apakah perjuangan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan keluarga akan makanan, pakaian, dan penaungan membuat Anda kelelahan, dan kadang-kadang bahkan kewalahan?
Alkitab menunjukkan bahwa Yusuf dan Maria relatif miskin. Bagaimana kita bisa tahu? Dalam kitab-kitab Injil​—Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes​—salah satu fakta yang disingkapkan tentang pasangan ini adalah bahwa 40 hari setelah Maria bersalin, ia dan Yusuf pergi ke bait untuk mempersembahkan korban yang diwajibkan​—”sepasang burung tekukur atau dua ekor burung dara muda”.* (Lukas 2:22-24) Korban ini hanya diperbolehkan bagi orang-orang yang terlalu miskin untuk mempersembahkan domba jantan muda. Maka, Yusuf dan Maria agaknya harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga. Sekalipun demikian, patut dikagumi bahwa mereka berhasil menciptakan kehidupan keluarga yang hangat. Pastilah, hal-hal rohani menjadi prioritas utama mereka.​—Ulangan 6:6, 7.
Tidak lama setelah kelahiran Yesus, kehidupan Maria sekali lagi terguncang karena adanya perubahan besar. Seorang malaikat menyuruh Yusuf membawa keluarganya dan lari ke Mesir. (Matius 2:13-15) Ini adalah kali yang kedua Maria harus meninggalkan lingkungan yang akrab dengannya, tetapi kali ini, ia harus pergi ke negeri asing. Di Mesir, ada komunitas Yahudi yang besar, jadi Maria dan Yusuf dapat hidup di antara bangsanya sendiri. Sekalipun demikian, tinggal di negeri asing bisa jadi sulit dan membingungkan. Apakah Anda dan keluarga termasuk di antara jutaan orang yang telah meninggalkan negeri asal, mungkin demi kesejahteraan anak-anak atau untuk lari dari bahaya? Jika demikian, Anda akan mengerti betul tentang beberapa kesulitan yang mungkin Maria alami di Mesir.