Dewasa ini, banyak calon ibu membuat persiapan selama berbulan-bulan untuk menyongsong bayi mereka, dan Maria mungkin melakukan hal yang sama. Bayi ini akan menjadi anaknya yang pertama. Akan tetapi, peristiwa yang tak diduga memperumit rencananya. Kaisar Agustus mengeluarkan dekret untuk melakukan sensus, yang mewajibkan seluruh rakyat mendaftar di kota kelahiran mereka. Jadi, Yusuf membawa Maria, yang sedang hamil sembilan bulan, untuk melakukan perjalanan sejauh kira-kira 150 kilometer, kemungkinan besar dengan menunggang keledai! Saat itu, Betlehem sangat padat dan Maria membutuhkan tempat untuk bersalin, namun satu-satunya tempat yang tersedia hanyalah sebuah kandang. Bersalin di sebuah kandang tentunya sangat sulit bagi Maria. Ia kemungkinan besar merasa malu dan juga takut.
Pada saat-saat kritis dalam kehidupannya ini, Maria pasti mencurahkan hatinya kepada Yehuwa, percaya bahwa Allah akan memelihara dia dan bayinya. Belakangan beberapa gembala tiba, sangat antusias melihat bayi tersebut. Mereka melaporkan bahwa para malaikat menyebut anak ini ”seorang Juru Selamat, yang adalah Kristus Tuan”. Kemudian kita membaca, ”Maria mulai menyimpan semua perkataan ini, menarik kesimpulan dalam hatinya.” Ia merenungkan kata-kata ini dan mendapatkan kekuatan.—Lukas 2:11, 16-19.
Bagaimana dengan kita? Kita juga mungkin mengalami kepedihan dalam kehidupan kita. Lagi pula, Alkitab menunjukkan bahwa ”waktu dan kejadian yang tidak terduga” dapat menimpa siapa pun di antara kita, menimbulkan berbagai kesulitan serta tantangan dalam perjalanan hidup kita. (Pengkhotbah 9:11) Jika hal itu terjadi, apakah kita menjadi getir dan menyalahkan Allah? Tidakkah lebih baik untuk meniru sikap Maria dan mendekat kepada Allah Yehuwa dengan belajar dari Firman-Nya, Alkitab, dan kemudian merenungkan apa yang telah kita pelajari? Dengan demikian, kita akan dibantu untuk menanggung berbagai cobaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar